Konsultan Pengelolaan Kampanye Media Sosial Untuk Perubahan Perilaku Orang Dengan Gejala Tuberkulosis
(ADVANCE TB BL. 2.3.6, 2.3.7, dan 2.3.8)
Latar Belakang
Lebih dari setahun COVID-19 telah menguras tenaga, waktu, dan perhatian Pemerintah, dunia usaha, dan berbagai lapisan masyarakat untuk bertahan di tengah pandemi. Sementara pandemi membuat kita tertekan, masalah penyakit menular seperti tuberkulosis (TBC) terus melaju. Pada tahun 2019, WHO menerangkan Indonesia, negara dengan peringkat kedua di dunia, menyumbang 845.000 pasien terinfeksi TBC atau 8 persen terhadap angka kejadian TBC dunia setiap tahunnya. Kondisi ini diperkirakan memburuk akibat merosotnya angka diagnosis dan cakupan pengobatan TBC di masa pandemi.
Menurut kajian modelling Stop TB Partnership, USAID, dan Imperial College UK, lockdown 3 bulan dan upaya pemulihan 10 bulan dapat memundurkan upaya penanggulangan TBC lima hingga delapan tahun ke belakang akibat peningkatan 6,3 juta kasus baru dan 1,4 juta kematian diantara 2020 dan 2025[1]. Survei Stop TB Partnership Indonesia (Juni 2020) bersama Aisyiyah, Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama, Perhimpunan Organisasi Pasien, dan Sub Direktorat Tuberkulosis juga mengindikasikan upaya penanggulangan TBC berbasis masyarakat sempat terhenti ketika pandemi melanda[2]. Data Kementerian Kesehatan RI menunjukkan cakupan pengobatan TBC secara nasional pada 2020 menurun empat puluh dua persen dari tahun 2019. Apabila tidak mendapatkan perhatian dan komitmen yang serius untuk mengakselerasi eliminasi TBC, target Indonesia untuk eliminasi TBC di 2030 dapat tidak tercapai.
Situasi pandemi memberikan kesempatan baru bagi pemangku kepentingan program TBC untuk memulihkan upaya-upaya mengejar Eliminasi TBC secara lebih efektif. Akses terhadap pelayanan kesehatan untuk TBC yang menurun di masa pandemi dapat ditingkatkan dengan mempromosikan perubahan perilaku yang tepat pada orang -orang dengan gejala TBC melalui kampanye digital. Upaya promosi kesehatan merupakan salah satu intervensi utama dalam Strategi Nasional Penanggulangan TBC 2020-2024 yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis (Perpres No. 67/2021).
Pada 19 Agustus 2021, Pemerintah Indonesia meluncurkan Perpres tersebut untuk menjawab tantangan multi-dimensional dalam memutus rantai penularan penyakit TBC yang pada dasarnya dapat dicegah, dideteksi, dan diobati. Kebijakan ini mendemonstrasikan keseriusan Indonesia mencapai salah satu Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030 yaitu Eliminasi TBC setelah meratifikasi Political Declaration on the Fight Against Tuberculosis pada Sidang Umum PBB 2018. Salah satu pasal dalam Perpres No.67/2021 adalah promosi kesehatan yang dilakukan melalui kegiatan advokasi, komunikasi, dan mobilisasi sosial dengan jangkauan yang luas seperti:
a. Penyebarluasan informasi yang benar mengenai TBC ke masyarakat secara masif melalui saluran komunikasi publik;
b. Penyelenggaraan upaya perubahan perilaku masyarakat dalam pencegahan dan pengobatan TBC;
c. Pelibatan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan influencer media sosial untuk menyebarkan materi komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai TBC; dan
d. Penyampaian informasi kepada masyarakat mengenai pelayanan TBC yang sesuai standar
Merujuk pada hasil Survei Monitoring Protokol Pelayanan TBC di Masa Pandemi COVID-19[3], orang-orang dengan gejala batuk seperti TBC semakin enggan untuk memeriksakan diri karena takut tertular dan/atau terdiagnosis COVID-19 jika melakukan pemeriksaan. Kurang tepatnya perilaku mencari pelayanan kesehatan diantara orang yang memiliki gejala TBC juga terjadi sebelum pandemi[4]. Dalam kondisi pandemi COVID-19 dan di wilayah endemis TBC seperti Indonesia, promosi kesehatan untuk mempromosikan perilaku mencari layanan yang tepat semakin diperlukan.
Menurut teori Transtheoretical Model for Behavioral Change oleh Prochaska & DiClemente, terdapat 6 tahapan perubahan perilaku yang dimulai dari pre-contemplation, contemplation, preparation, action, maintenance, dan relapse[5]. Dalam program hibah ADVANCE-TB, STPI menargetkan perubahan pada tahap pre-contemplation hingga preparation untuk mendorong masyarakat dengan gejala TBC, terutama batuk lebih dari dua minggu, untuk melakukan pemeriksaan di fasilitas pelayanan kesehatan dengan alat diagnosis TBC. Guna mendukung perubahan pada tahap-tahap tersebut, mengadopsi Social Learning Theory, diperlukan suatu kampanye yang menargetkan proses-proses kognitif antara individu dengan perilakunya seperti pengetahuan, ekspektasi, dan sikap[6].
Adapun respon yang ingin diharapkan pada sasaran perubahan perilaku yakni:
| Dari | Menjadi |
Berpikir | Batuk dapat diobati dengan pengobatan sendiri yang tersedia di toko obat/apotek
Itu hanya batuk biasa | Mengobati batuk terus-menerus (2 minggu/lebih) membutuhkan pemahaman yang akurat tentang penyebabnya
Batuk terus-menerus bisa menjadi masalah serius yang mengindikasikan penyakit TBC |
Merasa | “Instan”; Cepat dan tidak perlu antri di toko obat/apotek seperti di fasyankes
"Kenyamanan"; Percaya bahwa batuk terus-menerus dapat disembuhkan melalui pengobatan sendiri
"Aman"; Lebih ada privasi tentang kondisinya jika tidak ke fasyankes, menghindari keluarga/tetangga mengetahui ada yang sakit saat mengunjungi puskesmas/rumah sakit
"Kualitas"; Persepsi fasilitas swasta lebih baik (kredibel, profesional, layanan unggul) daripada layanan kesehatan publik | “Instan”; Pemulihan lebih cepat dari batuk persisten dengan perawatan yang akurat berdasarkan diagnosis
"Kenyamanan"; Dalam menghentikan batuk, mendapatkan informasi akurat dari profesional medis yang kredibel, mengajukan pertanyaan kepada 'orang yang tepat' (dokter), pengobatan gratis
"Aman"; Bertindak secara bertanggung jawab untuk menjaga keselamatan diri sendiri dan orang yang dicintai dengan mengakses layanan kesehatan dengan fasilitas diagnostik untuk mendapatkan diagnosis dan perawatan yang akurat
"Kualitas"; Layanan kesehatan publik dan swasta memiliki standar yang sama untuk menerima diagnosis tepat waktu untuk gejala TBC |
Melakukan | Orang yang batuk selama 2 minggu atau lebih terus melakukan pengobatan sendiri (yaitu, mengganti sirup/merek obat) dan tidak mengakses fasilitas diagnostik | Orang yang batuk selama 2 minggu atau lebih mengakses fasilitas kesehatan dengan layanan diagnostik TBC |
Kampanye yang dapat digunakan untuk saat ini adalah kampanye digital, salah satunya memanfaatkan media sosial. Kampanye melalui media sosial dianggap lebih efektif dan efisien dibandingkan kampanye lewat media konvensional[7]. Pada era digital 4.0 ini, penggunaan media sosial meningkat dari total populasi Indonesia sebanyak 274,9 juta jiwa, pengguna aktif media sosialnya mencapai 170 juta. Artinya, jumlah pengguna media sosial di Indonesia setara dengan 61,8 persen dari total populasi pada Januari 2021. Angka ini juga meningkat 10 juta, atau sekitar 6,3 persen dibandingkan tahun lalu[8].
Tingginya pengguna media sosial memberikan peluang yang besar dalam mempengaruhi seseorang untuk mengalami perubahan perilaku. Dalam digital social marketing, hal yang perlu diperhatikan adalah siapa yang akan menyampaikan pesan kampanye di media sosial. Saat ini, istilah influencer menjadi hal yang lumrah di masyarakat. Influencer merupakan seseorang atau kelompok yang dapat memberikan pengaruh kepada para pengikutnya. Dengan jumlah pengikut yang banyak, tak jarang pesan yang disampaikan oleh influencer dapat mempengaruhi keputusan seseorang untuk mengambil tindakan. Hal ini dikarenakan influencer memiliki otoritas, pengetahuan, posisi, atau karena hubungannya dengan publik/audiens, menjadikannya mudah sekali untuk diikuti oleh ratusan hingga jutaan orang.
Merujuk pada penjelasan di atas, pelibatan influencer dalam kampanye perubahan perilaku memungkinkan kampanye ini menjadi lebih efektif dan efisien. Oleh karena itu, Stop TB Partnership Indonesia berinisiatif untuk melibatkan influencer pada kampanye media sosial untuk perubahan perilaku orang dengan gejala tuberkulosis. Diharapkan para influencer media sosial dapat memberikan dampak positif untuk mengajak masyarakat serta dapat meningkatkan perilaku untuk memeriksakan diri pada layanan kesehatan ketika memiliki gejala tuberkulosis.
Tujuan Umum
Tujuan Khusus | STPI bertujuan untuk melakukan kampanye publik berkaitan dengan perubahan perilaku atau behavioral change communications campaign (BCC) untuk mempromosikan suatu perilaku yang positif pada individu dan masyarakat yang memiliki gejala batuk lebih dari 2 minggu untuk melakukan pemeriksaan di layanan kesehatan dengan fasilitas diagnosis.
|
Keluaran
Ruang Lingkup Pekerjaan
Tugas dan Tanggung Jawab
|
a. 4 konten audio visual yang melibatkan Duta TBC dan Penyintas TBC, dengan pesan kunci keamanan akses layanan diagnosis TBC di masa pandemi serta menekankan bahwa informasi yang didapatkan dari tenaga kesehatan adalah informasi yang lebih dapat dipercaya. b. 30 Konten sosial media (facebook/instagram/twitter) yang melibatkan 30 influencer lokal, dengan pesan kunci bahwa orang dengan gejala TBC (batuk lebih dari 2 minggu) dianjurkan untuk mengakses layanan kesehatan dan mendapatkan diagnosis yang sesuai. c. 60 Konten TikTok (30 di Hari Kesehatan Nasional dan 30 di Hari TBC dunia) yang melibatkan 30 anggota TikDok, dengan pesan kunci tidak beresikonya akses layanan kesehatan untuk orang dengan gejala TBC di masa pandemi. 6. Melakukan produksi dan editing konten 7. Placement konten publikasi 8. Menyusun laporan analytic sosial media dari setiap konten 9. Membuat laporan perkembangan kegiatan 10. Berkoordinasi secara berkala dengan tim STPI
Konsultan bertanggung jawab untuk mengelola keseluruhan proses perencanaan, pelaksanaan dan hasil akhir dari kegiatan ini.
9. Melaporkan kemajuan aktivitas sesuai dengan lingkup pekerjaan 10. Berkoordinasi secara berkala dengan tim STPI
|
Lokasi kegiatan | Daring dan Luring
|
Waktu Pelaksanaan | Sesuai timeline (Lampiran 2)
|
Tim Supervisi
Pagu Anggaran
| Konsultan akan bertanggung jawab kepada Senior Program Manager
Rp 450,000,000 (ADVANCE TB BL. 2.3.6, 2.3.7, dan 2.3.8)
|
Kualifikasi
Dokumen yang perlu dilampirkan
Bobot Penilaian Rekrutmen
Timeline Rekrutmen
| Konsultan harus mempunyai kualifikasi sebagai berikut: 1. Merupakan organisasi atau badan usaha yang memiliki pengalaman dalam kampanye atau penyiaran, diutamakan dalam bidang kesehatan. 2. Memiliki pengalaman berkoordinasi dan berkontrak dengan dengan talent (influencer) 3. Memiliki jejaring dan sumber daya yang memadai untuk pengelolaan kampanye media sosial yang bekerja sama dengan talent 4. Kandidat harus terdaftar sebagai badan usaha/organisasi yang teregistrasi dan diatur oleh hukum di Indonesia
Setiap kandidat konsultan wajib mengirimkan proposal dan dokumen pendukung sebagai berikut: 1. Proposal terdiri dari: a. Concept note kampanye perubahan perilaku orang dengan gejala tuberkulosis dan pengelolaan influencer (Latar belakang, Tujuan, Keluaran, Pendekatan, Desain kampanye, dan alur kerja) b. Rencana Anggaran Biaya c. Timeline kegiatan d. Tim kerja
2. Dokumen pendukung terdiri dari: ● Expression of Interest (English/Bahasa Indonesia) ● Profil organisasi ● Portofolio hasil kerja yang relevan ● KTP direksi/direktur/pendiri organisasi/pejabat yang berwenang di organisasi (salinan) ● CV tim kerja terbaru ● Akta notaris ● NPWP
Kelengkapan dokumen: 10% Proposal: 45% Wawancara: 45%
1. Penayangan iklan: 18 Oktober 2021 - 30 Oktober 2021 2. Batas waktu penerimaan lamaran: 30 Oktober 2021 23:59 WIB 3. Verifikasi proposal dan kelengkapan administrasi: 1 - 3 November 2021 4. Shortlist kandidat: 4-5 November 2021 5. Wawancara (daring): 9-11 November 2021 6. Pengumuman hasil seleksi: 15 November 2021 7. Negosiasi dengan kandidat: 16-18 November 2021 8. Penandatanganan kontrak: 22 November 2021 |
|
|
|
|
BERMINAT UNTUK MENDAFTAR?
Kirimkan lamaran beserta dokumen yang dibutuhkan melalui email ditujukan kepada: admin@stoptbindonesia.org dengan subject ‘(Nama Organisasi)_Konsultan Pengelolaan Kampanye Media Sosial Untuk Perubahan Perilaku Orang Dengan Gejala Tuberkulosis.' Diterima paling lambat 30 Oktober 2021 pukul 23.59 WIB.
Catatan:
● Tiga kandidat dengan nilai kelengkapan dokumen dan proposal tertinggi yang akan diundang ke tahap wawancara.
● Pengumuman hasil seleksi dapat dilihat di https://bit.ly/stpi-pengumuman
[1] Stop TB Partnership, Imperial College, Avenir Health, Johns Hopkins University, & USAID. (n.d.). The Potential Impact Of The Covid-19 Response On Tuberculosis In High-Burden Countries: A Modelling Analysis.
[2] Stop TB Partnership Indonesia (2020). Survei Monitoring Protokol Pelayanan TBC di Masa Pandemi COVID-19 Diakses dari https://www.stoptbindonesia.org/single-post/hasil-survei-monitoring-protokol-pelayanan-tbc-di-masa-pandemi-covid-19
[3] ibid
[4] Asik et al. 2017. Quality Tuberculosis Care in Indonesia: Using Patient Pathway Analysis to Optimize Public–Private Collaboration. The Journal of Infectious Diseases, Vol. 216 (7), 1 Oktober 2017, Hal. S724–S732.
[5] Prochaska, J. O., & Velicer, W. F. (n.d.). The Transtheoretical Model of Health Behaviour Change. American Journal of Health Promotion, 1997.
[6] Bandura, A. 1977. Social learning theory. Prentice-Hall
[7] Wiliana E, Purnaningsih N , Muksin N. 2021. Pengaruh Influencer dan Sosial Media Instagram Terhadap Keputusan Pembelian Sate Taichan Goreng Di Serpong. Prosiding Sinamu Simposium Nasional Multidisiplin Universitas Muhammadiyah Tangerang. Diakses pada http://jurnal.umt.ac.id/index.php/senamu/article/view/3464.
[8]Nistanto R, 2021. Berapa Lama Orang Indonesia Akses Internet dan Medsos Setiap Hari?". diakses pada 11 Oktober 2021 di https://tekno.kompas.com/read/2021/02/23/11320087/berapa-lama-orang-indonesia-akses-internet-dan-medsos-setiap-hari-?page=all.
Jl. Ampera Raya No. 18-20